Berbahasa Indonesia Secara Logis Gaya Iqbal Aji Daryono


Berbahasa Indonesia Secara Logis Gaya Iqbal Aji Daryono


Oleh Ahmad Soleh

Buku Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira memberikan perspektif baru dalam memandang persoalan kebahasaan.

AKASIA - Fenomena kebahasaan kian hari kian menarik untuk diikuti. Pasalnya, seiring bergeraknya zaman, bahasa juga turut mengalami perubahan dan penyesuaian. Perubahan yang terjadi pada bahasa merupakan hal yang lumrah karena hakikat bahasa itu sendiri yaitu dinamis, bergerak dan senantiasa berubah. Munculnya istilah-istilah seperti gawai (gadget), daring (online), lokapasar (marketplace), unduh (download), data raksasa (big data), dan sebagainya menjadi penanda bahwa bahasa Indonesia mengalami perubahan itu. Dan, akan makin banyak entri kosakata baru dalam kamus besar kita, entah itu serapan maupun bentukan baru.

Selain perkembangan zaman, bahasa juga dipengaruhi oleh peran penuturnya. Suatu bahasa bisa saja mati ketika masyarakat penuturnya tak lagi menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Sebaliknya, bahasa juga akan hidup ketika digunakan dalam percakapan masyarakat. Tak jarang, ada juga yang menuai polemik. Polemik dalam berbahasa bisa muncul karena berbagai faktor yang menyebabkan pesan yang dimaksud penutur tidak sampai kepada komunikan (penerima pesan). Bisa juga terjadi karena adanya pergeseran makna (peyorasi dan ameliorasi) atau kalimat yang tidak logis.

Pelbagai fenomena kebahasaan mutakhir disajikan dengan menarik oleh Iqbal Aji Daryono. Melalui bukunya, Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira; Renungan dan Candaan (Diva Press, 2019), Iqbal mencoba memberikan perpektif baru dalam memandang persoalan kebahasaan, khususnya dalam permasalahan-permasalahan bahasa Indonesia yang kerap hadir dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk, Iqbal melalui kritik dan argumentasinya juga menggugat slogan “berbahasa yang baik dan benar” yang jamak diajarkan di berbagai jenjang pendidikan.

Iqbal yang merupakan penulis populer dalam isu-isu kebahasaan mutakhir—setelah Ivan Lanin dan Eko Endarmoko—ini, mengaku setuju dengan slogan baku tersebut. Namun, dia mengkritik bagian 'berbahasa yang benar'. Iqbal, seperti pada judul bukunya, menekankan bahwa persoalan yang dialami bahasa Indonesia bukan hanya soal baik dan benar. Masih ada lagi persoalan lain yang lebih mendasar, yakni soal logika dalam berbahasa.

Keresahan itu digambarkan oleh Iqbal dalam pengantarnya. Iqbal mengatakan, “Ada satu semangat yang saya merasa tidak pernah mendapatkannya dulu di masa-masa sekolah. Semangat tersebut adalah berbahasa Indonesia yang logis, yang masuk akal, yang memenuhi kebutuhan nalar.”

Dalam pandangan penulis milenial ini, konsep belajar S-P-O-K dalam pelajaran bahasa Indonesia memiliki persoalan mendasar. Penerapan struktur logis berdasarkan S-P-O-K tersebut praktiknya menjadi semacam hafalan lantaran guru dan siswa hanya fokus pada rumus. Imbasnya, siswa akan menjadi “pengabdi rumus” (halaman 6), seperti persoalan yang kerap terjadi dalam pelajaran matematika.

Iqbal memberikan contoh, “Iwan mencuri mangga dengan tangkai bambu pada saat Magrib terdengar”. Bagi guru pengabdi rumus, kalimat itu akan dibedah sesuai rumus S-P-O-K saja. Padahal, pendapat Iqbal, akan jauh lebih mendasar jika guru menanyakan “Siapa yang mencuri? Apa yang dicuri? Apa yang sipakai mencuri? Kapan pencurian dilakukan? Apakah dalam pencurian itu si pelaku memakai tangkai bambu? Apakah tangkai bambu adalah tujuan, atau cuma sarana? Dan sebagainya” (halaman 7).

Mengangkat tema logika berbahasa dalam esai-esai populer merupakan pilihan cerdik penulisnya. Hal ini seolah memberikan suatu pandangan menohok bahwa selama ini kita mengesampingkan nalar dalam aktivitas berbahasa. Tak ayal, kita kerap terjebak dalam kesalahan logika berbahasa. Iqbal mengatakan, bahasa adalah sebuah sistem logika. Aktivitas berbahasa, dia melanjutkan, bukan sekadar aktivitas berkomunikasi, melainkan juga bagaimana kita menata unsur-unsur dalam bahasa yang kita tuturkan dalam sistematika yang logis dan masuk akal (halaman 141).

Jika menganggap buku ini semacam buku pedoman berbahasa, jawabannya adalah salah besar. Karena meskipun buku ini membahas wacana kebahasaan, penulisnya lebih mengajak pembaca untuk berdiskusi, berdialog, dan memancing respons nalar pembaca. Maka, jangan heran jika ada pembahasan-pembahasan yang terkesan menggantung dan tidak sejalan dengan pikiran pembaca.

“Setujukah Anda dengan argumen saya? Tidak setuju pun tak apa-apa, santai saja. Toh, segenap tulisan saya di buku ini juga bukan sabda atau ketetapan yang bersifat mengikat, melainkan sebatas ajakan berdiskusi.” (halaman 121).

Persoalan Bahasa Indonesia

Melalui buku ini penulisnya tidak hanya mencoba berdialog dengan para pemerhati dan pakar bahasa, melainkan juga mengajak segenap pembaca dan penutur bahasa Indonesia dari berbagai kalangan untuk kembali memikirkan soal-soal bahasa Indonesia. Persoalan yang diangkat pun tidak melulu soal penulisan, tapi juga soal pertuturan yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Seperti kelakarnya pada bagian belakang sampul buku, “Ini bukan buku sekolahan. Ini buku untuk semua penutur bahasa Indonesia.”

Hadirnya buku Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira—yang pada sampulnya ditulis tanpa huruf kapital—ini telah mendobrak kekakuan dalam dunia kebahasaan. Dalam pembahasan isu-isu kebahasaan umumnya disajikan dengan kaku dan baku, serupa modul kuliah atau buku pelajaran. Namun, esai-esai dalam buku ini disajikan dengan gaya bahasa yang ringan, santai, dan mengalir. Tak pelak kita juga menemukan candaan-candaan khas dari penulisnya.

Hal itu membuat buku ini mampu diterima dan cocok untuk berbagai kalangan, utamanya kalangan milenial yang gemar bacaan-bacaan ringan. Ditambah lagi, pembahasan tiap esai dalam buku ini berdiri sendiri-sendiri. Sehingga, pembaca bisa membacanya secara acak, tidak harus runtut, boleh dimulai dari depan ataupun belakang. Sebab itulah, buku ini mengajak pembacanya untuk “bergembira” dalam rangka menggali dan memahami persoalan bahasa Indonesia.

Identitas Buku

Judul: Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira: Renungan dan Candaan
Penulis: Iqbal Aji Daryono
Penerbit: Diva Press, Yogyakarta
Cetakan I: September 2019
Tebal: 296 halaman
ISBN: 978-602-391-766-2

Pernah tayang di Republika, Ahad (27/10/2019)

0 Komentar