Polisi Bahasa dalam Kacamata Eko Endarmoko

Polisi Bahasa dalam Kacamata Eko Endarmoko


Oleh Ahmad Soleh

AKASIA - "Bahasa mengemban fungsi lebih dari sekadar medium komunikasi." – Eko Endarmoko (2019).

Pekan lalu, saya membeli buku berjudul Polisi Bahasa: Tentang Peran Penutur yang Absen, kumpulan esai Eko Endarmoko. Baru saja kemarin saya selesai membacanya. Betul, tak butuh waktu lama. Dalam waktu dua sampai empat jam membukanya, saya sudah menyelesaikan separuh perjalanan. Separuhnya lagi butuh waktu dua hari lantaran berbagai kesibukan yang membuat saya tak sempat membukanya lama-lama. Jika dikalkulasi, 12 jam sepertinya sudah cukup untuk membaca buku ini sampai tuntas.

Jujur saja, buku karangan Eko Endarmoko—tokoh yang memiliki perhatian khusus terhadap bahasa Indonesia yang juga menyusun tesaurus bertajuk Tesamoko—ini sangat menarik dan nikmat dibaca. Tema-tema kebahasaan yang biasanya dibahas (oleh para akademikus) secara kaku, tidak saya temui dalam buku ini. Sajian bergaya populernya membuat buku ini begitu nyaman dan terasa enteng dicerna. Meski begitu, tak mengurangi bobot pembahasannya.

Mungkin gaya penulisan seperti ini belum pernah saya temui sebelumnya. Yang pasti, membaca tulisan Eko Endarmoko tentang kebahasaan dalam buku ini telah memberikan pengalaman menarik, yang membuat saya kembali melek pada isu-isu bahasa yang saban hari saya temui.

Polisi Bahasa, yang diangkat sebagai judul bukunya, diambil dari salah satu esai dengan judul serupa yang membahas (menyindir) para polisi bahasa. Menurut Endarmoko, bahasa Indonesia baik-baik saja. Eko berujar, “Sebenarnya tak ada yang perlu terlalu dirisaukan pada bahasa Indonesia kita. Ia baik-baik saja dengan segala tata kaidah di dalamnya.” Mengapa begitu? Kata penulisnya, aspek mana pun yang ditabrak oleh penggunanya, tak membawa banyak pengaruh yang berarti.

Yang perlu dirisaukan justru para pelaku 'penabrak' aturan berbahasa. Dari esai singkat itu saya mendapatkan informasi baru yang seakan mengonfirmasi apa yang menjadi kerisauan saya sebelumnya. Bahwa peran para polisi bahasa sedianya tidak hanya mengacu pada acuan-acuan normatif, seperti kamus besar dan pedoman yang disediakan oleh pemegang kuasa atas hal itu. Sehingga yang dilakukan hanya “mencari-cari kesalahan” orang lain dengan senjata kata baku dan tak baku yang mengacu ke kamus besar.

Nah, bicara soal benar dan salah dalam berbahasa ini tidak bisa diukur cuma dengan perangkat yang tersedia itu, yang bahkan masih bisa diperdebatkan. Hal ini juga menjadi perhatian Eko. Dalam beberapa esainya, Endarmoko mengungkap bagaimana bahasa Indonesia masih menderita beberapa kelemahan, misalnya soal inkonsistensi. 

Endarmoko konsisten untuk lebih memilih menggunakan kata obyek dan subyek dibandingkan objek dan subjek seperti tercantum dalam kamus besar. Dia memilih menggunakan kata tersebut sebagai bentuk konsistensi, sebagaimana bentuk serapan lainnya, project menjadi proyek dan traject menjadi trayek.

Selanjutnya, soal kasta dalam bahasa. Endarmoko cenderung menggunakan anda (dengan a kecil) dibandingkan Anda (dengan A kapital). Bagi Endarmoko, kata ganti orang kedua ini tidak perlu dispesialkan. Sebagaimana kata ganti orang kedua lainnya. Mengapa kata kamu, kau, dan engkau ditulis tanpa kapital, sedangkan anda harus ditulis Anda? Padahal, semua sapaan itu pada dasarnya mengandung "pernghormatan" yang sama.

Malah, jika kita mengamati penggunaannya saat ini, Anda justru telah meleset dari tujuan "penghormatan", terkesan tidak akrab, dan kadang digunakan dalam situasi emosional yang meluap-luap. Selain soal itu, masih banyak pembahasan menarik lainnya yang bisa kita temukan dalam buku ini.

Nah, ngomong-ngomong soal polisi, saya pernah berkelakar dengan seorang teman. “Mengapa polisi tidur namanya polisi tidur?” kata saya kepada teman. Dia menjawab, “Supaya bisa digilas, kalau polisi bangun nggak berani saya gilas. Ha ha ha.”

Kelakar yang bagi sebagian orang terasa garing (tidak lucu) itu membuat saya penasaran dan kembali mengecek polisi tidur di kamus besar daring melalui gawai. Meskipun sudah masuk KBBI, polisi tidur masih dalam kategori cakapan, yang artinya digunakan dalam ragam tak baku, sehingga harus ditulis miring. “Bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang untuk menghambat laju kendaraan” begitu tulis KBBI.

Terlepas dari apa pun pengertian yang ada dalam kamus, sebenarnya bahasa merupakan sebuah konsep. Sehingga antara polisi lalu lintas, polisi bahasa, dan polisi tidur sebenarnya punya konsep yang hampir mirip.

Polantas bertugas menjaga pengendara kendaraan agar tertib berkendara dan menegakkan aturan dan hukum yang berlaku dalam berlalu lintas. Polisi bahasa menjaga pengguna bahasa agar taat dan patuh dengan aturan dan kaidah dalam berbahasa (menulis dan bertutur). Sementara polisi tidur, menjaga pengguna jalan agar tidak ugal-ugalan, tidak ngantuk, dan tidak tidur (ketiduran) saat berkendara, sehingga bisa juga kita sebut polisi ngebut atau polisi ngantuk.

Identitas Buku

Judul: Polisi Bahasa; Tentang Peran Penutur yang Absen
Penulis: Eko Endarmoko
ISBN: 9786024126964
Penerbit: Kompas (2019)
Tebal: 236 Halaman

0 Komentar