Medsos & Sapiens di Era Digital (2)


Medsos & Sapiens di Era Digital (2)

Oleh Ahmad Soleh

AKASIA - Mula-mula kita amat sering mengutip adagium, “malu bertanya, sesat di jalan.” Barangkali peribahasa yang satu ini sudah seperti template setiap kali mengingatkan seseorang untuk tidak malu bertanya ketika mendapatkan penjelasan yang kurang dipahami. Tentu saja, kurang paham bisa berakibat pemahaman yang sesat, kan?

Tapi itu dulu. Sebelum wabah smartphone menyergap hidup kita yang tenteram dan damai ini. Sebelum indahnya hari-hari kita berpindah ke riuhnya layar mungil dalam genggaman tangan kita itu. Sepertinya benda kecil itu telah membuat perubahan besar dalam hidup kita.

Sekarang, kebanyakan orang memang tidak suka bertanya secara langsung. Alih-alih bicara langsung, terkadang kita lebih memilih untuk mengetik pesan di grup WhatsApp. Padahal anggota grup itu ada di dekat kita. Lucu, tapi itu benar-benar sering terjadi pada sapiens yang tinggal di pinggiran dan pusat kota.

Dalam kasus lain, ketika hendak ke suatu tempat yang bahkan tak pernah kita ketahui sebelumnya. Sedikit saya jelaskan konteksnya. Adagium seperti saya kutip di atas kalau dimaknai secara literer, kira-kira begini. Apabila kita sedang dalam perjalanan, bertanyalah supaya tidak kesasar. Bertanya di sini, tentu saja seperti yang kamu pikirkan saat ini. Melipir sebentar, bilang “permisi, numpang tanya, kalau mau ke anu (nyebutin nama tempat) arahnya ke mana ya?” Begitu, bukan?

Namun, sekarang justru kita seakan sungkan atau malu untuk melakukan aktivitas sosial “bertanya”. Kenapa? Karena smartphone di genggaman kita itu sudah menyajikan fitur maps. Fitur canggih yang akan menuntun kita berkeliling ke mana entah dengan amat sangat mudah. Problemnya, maps kadang tidak begitu akurat. Banyak orang tersasar karena ikut arahan dari peta digital itu. Ibarat “habis kuota, sesat di jalan”, kita mesti selalu terkoneksi dengan internet yang di beberapa daerah masih lemot dan jarang ada sinyal itu.

Saya sendiri pernah kesasar karena “malu bertanya” dan lebih memilih mengikuti arahan Google Maps. Suatu hari, saya hendak ke suatu tempat di Kabupaten Kuningan. Saya berangkat naik motor matic bersama anak dan istri saya. Meskipun belum hafal jalannya, saya yakin akan sampai karena kalau dilihat di layar maps, jaraknya cukup dekat. Hanya sekitar 30 menit dari rumah saya di kampung halaman, Cirebon.

Saya berangkat pagi hari, sekitar pukul sembilan. Perjalanan cukup jauh kami tempuh. Hingga akhirnya harus melewati area persawahan dan dua kali memasuki jalur sepi dengan medan yang menanjak dan berkelok. Jalanan yang saya pikir cukup seram kalau dilalui sore hari. Untungnya itu masih pagi, masih ada satu-dua warga beraktivitas.

Sampai tibalah saya di suatu kampung yang seperti kampung pada umumnya. Di sana, kami kehabisan petunjuk. Masalahnya maps mengarahkan saya menuju jalan buntu. Jalan terakhir di ujung kampung tersebut. Yang setelah saya bertanya (akhirnya kan bertanya juga) ke warga sekitar, ternyata jalur itu tidak bisa dilalui kendaraan. “Itu kampung sebelah. Kalau mau ke sana gak bisa naik motor, jalan kaki karena melewati bukit,” kata seorang bapak yang kami temui sambil menunjuk sebuah bukit di belakang kampung.

Ternyata, kampung yang saya tuju ada di seberang “kampung buntu” tersebut dan terhalang bukit yang tidak ada jalur aspalnya. Astaga, kenapa Google Maps mengarahkan kami ke jalur seperti ini? Hadeuh. Beruntung saya bertanya warga sekitar, meskipun sebetulnya itu bisa saya lakukan sejak tadi sebelum ketemu jalan buntu.

Akhirnya, mau tak mau saya memutar balik kembali ke jalan yang tadi. Saya pun mencoba mencari jalan lain. Maps mengarahkan ke sebuah jalan yang ternyata lebih dekat dan lebih mudah jalurnya. Tidak melewati jalan tanjakan berkelok, tidak juga melewati area persawahan yang sepi. Sampai akhirnya kami tiba di tujuan dengan selamat.

Apa yang saya ceritakan di atas merupakan pengalaman yang tidak akan saya lupakkan soal perjalanan kesasar dan Google Maps. Sebetulnya cerita ini juga mirip dengan keresahan Mas Iqbal Aji Daryono dalam buku terbarunya, Sapiens di Ujung Tanduk (Bentang, 2022). Keresahan yang Mas Iqbal rasakan sepertinya juga tengah menyergap kita semua, termasuk saya. Kita begitu terpedaya oleh perangkat teknologi, smartphone, maps, medsos, dan aneka tetek bengeknya itu.

Kita lupa jati diri sebagai manusia. Hingga akhirnya kita akan terus merasa sungkan untuk bertanya sampai mentok kesasar atau hilang sinyal. Kita akan terus merasa “aman, ada Google Maps” selama masih ada sinyal dan kuota. Padahal, toh bertanya ke warga sekitar bukan suatu hal yang memalukan dan warga sekitar tidak mungkin mengarahkan kita ke jalan buntu, bukan? Ya, asalkan kita sopan dan pakai tata krama.

Kesasar bukanlah perkara menyenangkan. Apalagi kesasar ke antah berantah hanya karena mengikuti tuntunan peta digital itu. Bukankah rasanya akan lebih memalukan ketimbang melakukan aktivitas “bertanya”. Yang sebetulnya aktivitas bertanya itu juga bisa kita kamuflase dengan pura-pura beli air minum di warung atau beli sekeranjang buah-buahan.

Memang benar, kalau direfleksikan, kemajuan teknologi tidak selalu membuat kita jadi lebih maju dalam berpikir dan bersikap. Sebaliknya, kita bisa saja jadi lebih terlihat primitif dan banyak menemukan kebodohan dalam diri kita sendiri. Tidak berdaya di hadapan teknologi. Itulah yang kita rasakan. Kita jadi seperti sapiens yang digenggam smartphone. Terjerat dan terbelenggu.

Identitas Buku


Judul: Sapiens di Ujung Tanduk
Penulis: Iqbal Aji Daryono
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: 160 halaman
Cetakan pertama: April 2022
ISBN: 978-602-291-897-4

0 Komentar