AKASIA - Oleh: Gina Ristiana
Sinopsis Robohnya Surau Kami
Cerpen “Robohnya Surau Kami” bercerita tentang kisah tragis matinya seorang Kakek penjaga surau (masjid yang berukuran kecil) di kota kelahiran tokoh utama cerpen itu. Dia—si Kakek, meninggal dengan menggorok lehernya sendiri setelah mendapat cerita dari Ajo Sidi-si Pembual, tentang Haji Soleh yang masuk neraka walaupun pekerjaan sehari-harinya beribadah di Masjid, persis yang dilakukan oleh si Kakek. Haji Soleh dalam cerita Ajo Sidi adalah orang yang rajin beribadah, semua ibadah dari A sampai Z ia laksanakan semua, dengan tekun.Tapi, saat “hari keputusan”, hari ditentukannya manusia masuk surga atau neraka, Haji Soleh malah dimasukkan ke neraka.Haji Soleh memprotes Tuhan, mungkin dia alpa pikirnya. Tapi, mana mungkin Tuhan alpa, maka dijelaskanlah alasan dia masuk neraka, “kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya raya,tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniyaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tetapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.” Merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, Kakek memutuskan bunuh diri. Dan Ajo Sidi yang mengetahui kematian Kakek hanya berpesan kepada istrinya untuk membelikan kain kafan tujuh lapis untuk Kakek, lalu pergi kerja.
Dalam cerita Ajo Sidi, Haji Saleh adalah seorang yang taat menjalankan agama. Pada saat meninggal dunia, Haji Saleh serta orang-orang lainnya sedang menunggu giliran di akhirat untuk menerima penghakiman Tuhan untuk dimasukkan ke neraka atau ke surga. Saat gilirannya tiba, Haji Saleh tanpa rasa takut menjawab pertanyaan Tuhan tentang apa saja yang dilakukannya di dunia pada masa hidupnya. Haji Saleh dengan percaya diri berkata bahwa pada saat ia hidup di dunia, yang dilakukannya adalah memuji dan menyembah Tuhan, serta menjalankan ajaran agama dengan taat. Namun, Tuhan tidak memasukkan Haji Saleh ke surga, melainkan ke neraka.
Di neraka, Haji Saleh bertemu juga dengan teman-temannya di dunia yang ibadahnya juga tidak kurang dari dirinya, bahkan ada juga orang yang sampai bergelar syekh. Akhirnya, karena tidak terima dengan keputusan Tuhan, orang-orang di neraka yang menganggap dirinya tidak pantas dimasukkan ke neraka itu melakukan aksi unjuk rasa kepada Tuhan. Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan pembicara bagi mereka. Sekali lagi, Tuhan menanyakan kepada mereka apa yang telah mereka lakukan di dunia.
Mereka menjawab bahwa mereka semua adalah warga negara Indonesia yang taat beragama dan negaranya sangat kaya akan sumber daya alam, namun hasilnya sering di ambil oleh pihak asing. Lalu Tuhan menjawab kepada mereka, bahwa mereka semua hanya mementingkan diri mereka sendiri, karena selama hidup mereka hanya berdoa dan menyembah-Nya, tetapi tidak mempedulikan keadaan sekitar, sehingga banyak kekayaan negara mereka sendiri yang diambil oleh pihak asing, sedangkan anak cucu mereka sendiri hidupnya kekurangan.
Dari cerita Ajo Sidi itu, mungkin kakek penjaga surau itu merasa tersinggung dan terpukul. Karena selama hidupnya, kakek itu hanya menyembah dan memuji Tuhan, sampai-sampai tidak memiliki istri serta anak cucu. Kakek itu kemudian merasa marah dan tertekan lalu akhirnya memutuskan untuk bunuh diri.
Sebenarnya dari sinopsis di atas kita telah dapat menangkap secara jelas tema cerita dari “Robohnya Surau Kami” ini. Tema dari cerita ini adalah hidup yang dikehendaki Tuhan. Hidup yang dikehendaki Tuhan bukan saja hidup dengan menyembah dan memuji nama-Nya terus menerus dan menjalankan perintah agama dengan baik, melainkan juga hidup yang peka dengan keadaan sekitar. Karena beribadah saja tidaklah cukup. Beribadah harus dibarengi dengan kerja keras dan peduli akan keadaan sekitar khususnya anak cucu, keluarga, serta semua orang di sekitar kita.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa menyembah dan memuji Tuhan serta nenjalankan ajaran agama dengan taat bukanlah hal yang salah. Namun, terkadang manusia menjalankan ibadah dengan baik hanya supaya dirinya dapat masuk ke surga pada saat ia meninggal dunia. Hal tersebut sebenarnya adalah pemikiran yang sangat egois, dan dalam cerita “Robohnya Surau Kami” ini, Tuhan tidak suka akan manusia yang hidupnya hanya mementingkan diri sendiri. “Imbangilah ibadahmu yang baik dengan kerja keras untuk menyejahterakan hidupmu serta hidup keluarga, saudara, dan semua orang disekitarmu”, mungkin itulah pesan yang ingin disampaiakan oleh penulis melalui cerpen “Robohnya Surau Kami” ini.
Cerpen karya A.A. Navis ini bersetting tempat di sebuah desa kecil, dimana dalam desa tersebut terdapat sebuah surau yang awalnya sangat teduh dan nyaman untuk beribadah, namun kini menjadi sangat usang karena telah ditinggalkan oleh sang penjaga surau. Keusangan surau itu melambangkan kemasabodohan manusia yang tidak mau lagi memelihara apa yang tidak dijaga lagi, seperti dalam kutipan cerpen berikut:
“Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.”
Selain itu, cerpen ini juga bersetting tempat di akhirat dan neraka. Akhirat adalah tempat dimana Haji Saleh menunggu gilirannya untuk diadili Tuhan dalam cerita Ajo Sidi. Dan neraka adalah tempat bertemunya Haji Saleh dengan orang-orang yang taat beribadah lainnya, sehingga mereka melakukan unjuk rasa kepada Tuhan karena merasa tidak terima diri mereka dimasukkan ke neraka.
Dari segi penokohan, cerpen ini memuat tokoh-tokoh yang cukup sederhana namun dapat menunjukkan kekuatan dan ciri karakter tokohnya masing-masing. Terdapat empat tokoh yang muncul dalam cerpen ini, yaitu kakek, aku, Ajo Sidi, Haji Saleh, istri tokoh aku, dan istri Ajo Sidi.
Kakek adalah tokoh utama (protagonis) dalam cerpen ini. Tokoh kakek digambarkan sebagai seorang tua penjaga surau yang sangat taat dalam menjalankan ajaran agama. Ia memberikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah dan menjaga surau tersebut. Kakek adalah orang yang sangat sederhana dan tidak pernah hidup berlebihan. Kehidupannya hanya ditopang dengan pemberian sukarela dari penduduk setempat ataupun yang berkunjung ke surau yang dijaganya itu. Namun sayang, tokoh kakek memiliki kondisi psikologis yang kurang kuat. Saat Ajo Sidi menceritakan cerita tentang Haji Saleh, tokoh kakek langsung hancur keteguhan hatinya. Kakek merasa bahwa semua yang dikorbankannya dalam hidupnya hanya untuk beribadah, menurut cerita Ajo Sidi, semuanya tidaklah benar-benar sesuai dengan kehendak Tuhan. Tokoh kakek yang merasa semua pengorbanannya tidak berguna, merasa marah kepada Ajo Sidi, walaupun kakek menyangkalnya saat ditanya oleh tokoh aku. Namun menurut saya sendiri, tokoh kakek sebenarnya marah kepada dirinya sendiri, karena ia ternyata telah salah. Kakek mengorbankan hidupnya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu dikehendaki oleh Tuhan. Sehingga akhirnya kakek memutuskan untuk bunuh diri.
Selanjutnya, terdapat tokoh aku yang berkedudukan sebagai deutragonis (tokoh yang berpihak pada protagonis). Tokoh aku ini memiliki kepribadian yang menurut saya masih sangat kekanak-kanakan. Ia memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar dan masih cenderung mengikuti emosinya saat bertindak dan berpikir, tanpa menimbang masak-masak mana yang seharusnya dilakukan atau dan tidak dilakukan. Misalnya saat mendengar berita bahwa kakek telah meninggal, tokoh aku secara emosional langsung menganggap bahwa Ajo Sidi-lah yang bersalah, seperti terlihat dalam kutipan dialog antara berikut:
“Ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang sangat mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Tokoh selanjutnya yang muncul dalam cerita ini adalah Ajo Sidi. Ajo Sidi merupakan tokoh antagonis dalam cerita ini. Ia yang menceritakan kisah tentang Haji Saleh yang membuat kakek sangat terpukul dan akhirnya bunuh diri. Ajo Sidi sebenarnya memiliki watak yang baik, yakni sering mengingatkan para tokoh masyarakat yang hidupnya dirasa kurang baik. Ajo Sidi suka menyindir orang lain dengan menggunakan cerita-cerita perumpamaan. Banyak pula masyarakat yang terpengaruh oleh ceritanya, karena dianggap sangat “mengena”.
Haji Saleh merupakan tokoh rekaan dari Ajo Sidi. Ajo Sidi menggunakan karakter Haji Saleh untuk menggambarkan orang-orang yang telah merasa dirinya adalah orang yang sangat dikehendaki oleh Tuhan, banyak pahala, dan telah melaksanakan semua ajaran agama dengan taat. Hal itu membuat Haji Saleh bersikap sombong pada saat menunggu pengadilan Tuhan. Ia mencibir kepada orang-orang yang dimasukkan ke neraka, dan melambai senang kepada orang yang masuk ke surga. Padahal, dirinya sendiri dimasukkan ke neraka oleh Tuhan karena hidupnya dianggap terlalu egois dan tidak memedulikan kesejahteraan orang-orang disekelilingnya.
Tokoh selanjutnya yang terdapat dalam cerita ini adalah istri dari tokoh aku serta istri dari Ajo Sidi. Namun, kehadiran dua tokoh itu tidak terlalu penting dalam cerita ini, karena kehadirannya yang hanya sebagai pelengkap dan hanya muncul sebentar di dalam cerita ini, sehingga saya tidak akan membahasnya.
Selanjutnya cerita ini memiliki alur maju mundur. Hal ini terjadi karena dipertengahan cerita, tokoh kakek menceritakan kembali tentang kejadian Ajo Sidi yang bercerita tentang Haji Saleh.
Secara umum, cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis ini memiliki cerita yang sangat unik dan menarik. Cerita ini dikemas secara sederhana, tetapi penuh makna dan kritik atas kehidupan manusia pada jaman modern ini. Di mana manusia berlomba-lomba untuk memnuhi kepentingannya sendiri, bahkan dalam masalah agama. Manusia menjalankan agamanya dengan baik dan taat hanya agar dirinya dapat masuk surga. Manusia memuji Tuhannya tidak lagi dengan hati yang tulus karena mencintai-Nya, melainkan hanya agar memperoleh pahala dan semakin mudah jalannya untuk masuk ke surga. Sangat mengenaskan dan memprihatinkan memang, tapi itulah kenyataan pada masa kini yang berhasil ditangkap oleh A.A. Navis dan dituangkankannya ke dalam cerita ini.
Pembelajaran Literasi
Siapa bilang sastra hanya belajar tentang literasi saja, bisa kok sastra dikaji dalam numerasi.Pembelajaran literasi dalam “Robohnya Surau Kami”
1. Literasi Agama dan Sosial:
- Surau dalam cerpen ini menjadi tempat untuk belajar agama dan berbagi pengetahuan sosial. Masyarakat berkumpul di surau untuk mempelajari ajaran agama dan juga mendiskusikan isu-isu sosial yang mereka hadapi. Literasi dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga pada pemahaman agama, nilai-nilai moral, dan pemahaman terhadap kehidupan sosial yang harus dijalani oleh masyarakat.
- Contoh dalam cerpen: Kakek yang menjadi penjaga surau menjalani kehidupan yang penuh dengan ibadah dan mematuhi ajaran agama. Ini menunjukkan literasi agama yang diterima oleh Kakek, yang mempersembahkan hidupnya hanya untuk beribadah, meskipun ia tidak peduli dengan kondisi sosial di sekitarnya. Kakek mengabaikan aspek sosial lainnya, yang akhirnya menyebabkan kekecewaannya setelah mendengar cerita Ajo Sidi tentang Haji Saleh.
2. Literasi Sosial:
- Literasi sosial mencakup pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai sosial dan kehidupan bermasyarakat. Dalam cerita ini, masyarakat desa yang berkumpul di surau tidak hanya belajar agama, tetapi juga berbicara tentang bagaimana mereka menjalani hidup bersama. Literasi sosial ini berkaitan dengan bagaimana mereka memahami dan mengatasi masalah yang ada di lingkungan sekitar.
- Contoh dalam cerpen: Surau adalah tempat berkumpulnya masyarakat untuk mendiskusikan banyak hal, termasuk masalah sosial mereka. Kakek, sebagai penjaga surau, hidup dalam keterasingan, mengabaikan nilai-nilai sosial lainnya karena ia lebih fokus pada ibadah.
3. Literasi Ekonomi dan Moral:
- Meskipun literasi ekonomi tidak dibahas secara langsung dalam cerpen ini, terdapat kritik sosial mengenai kemiskinan dan ketidakpedulian terhadap kemajuan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam cerita Ajo Sidi tentang Haji Saleh, Tuhan menjelaskan bahwa meskipun Haji Saleh taat beribadah, ia melupakan tanggung jawab sosial, seperti peduli terhadap kemiskinan dan ketidakadilan di sekitar dirinya. Ini menunjukkan pentingnya literasi ekonomi dan moral, yaitu memahami bahwa hidup harus seimbang antara ibadah dan kontribusi terhadap kesejahteraan sosial.
- Contoh dalam cerpen: Tuhan menegur Haji Saleh karena hanya beribadah dan tidak peduli terhadap kehidupan masyarakat sekitar. Haji Saleh dan teman-temannya hanya fokus pada ibadah pribadi tanpa memperhatikan nasib orang lain.
Pembelajaran Numerasi dalam “Robohnya Surau Kami”
1. Mengelola Sumber Daya dan Ekonomi:
- Numerasi dalam cerita ini lebih terkait dengan kemampuan mengelola sumber daya dan memperhatikan kesejahteraan ekonomi. Surau, yang semula adalah tempat yang dihormati, mulai terabaikan dan rusak karena kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan. Hal ini mencerminkan kurangnya pengelolaan sumber daya secara bijaksana, yang dalam hal ini adalah surau dan kehidupan masyarakat itu sendiri.
- Contoh dalam cerpen: Ketika surau mulai ditinggalkan, ini melambangkan kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan tradisi dan sumber daya sosial yang ada di desa. Kehidupan Kakek, yang hanya mengandalkan ibadah tanpa memikirkan hal-hal praktis seperti kesejahteraan sosial, akhirnya berujung pada kekecewaan dan tragisnya kematiannya.
2. Pergeseran Nilai Ekonomi dan Pengelolaan Hidup:
- Dalam cerita ini, numerasi juga mengarah pada pengelolaan hidup secara praktis dan rasional, yang tidak hanya bergantung pada ibadah saja. Numerasi ekonomi mengajarkan kita untuk mengelola sumber daya secara efisien, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kesejahteraan orang lain. Ini tercermin dalam peran masyarakat yang lebih fokus pada kerja keras dan pemberdayaan sosial.
- Contoh dalam cerpen: Tuhan menjelaskan kepada Haji Saleh dan teman-temannya bahwa meskipun mereka taat beribadah, mereka tidak peduli dengan ketidakadilan sosial dan kekayaan alam Indonesia yang tidak dikelola dengan baik. Ini adalah kritik terhadap kurangnya numerasi sosial dan ekonomi, yang melibatkan perhatian terhadap pengelolaan sumber daya yang dimiliki negara dan kesejahteraan bersama.
Kesimpulan
Literasi dalam cerpen ini menggambarkan pentingnya pemahaman agama, nilai sosial, dan kesadaran akan lingkungan sekitar. Kakek yang hidup hanya untuk beribadah, tanpa peduli dengan kesejahteraan sosial, menunjukkan bahwa literasi agama saja tidak cukup tanpa pemahaman sosial dan ekonomi yang baik.Numerasi lebih berkaitan dengan kemampuan untuk mengelola sumber daya, merencanakan kehidupan dengan bijaksana, dan memperhatikan kondisi ekonomi dan sosial di sekitar kita. Surau yang rusak dan terabaikan menjadi simbol dari kurangnya pengelolaan sumber daya, baik dalam kehidupan sosial maupun agama.
“Robohnya Surau Kami” mengajarkan kita bahwa hidup tidak hanya tentang ibadah pribadi, tetapi juga tentang berkontribusi pada kehidupan sosial dan mengelola sumber daya dengan bijaksana demi kesejahteraan bersama.
Sumber: Sanggar Alam Anak
.png)
0 Komentar