Membaca Gagasan Keindonesiaan Haedar Nashir
Oleh Ahmad Soleh
AKASIA – Disclaimer: Sebelum membaca ulasan ini lebih jauh, perlu saya informasikan di awal bahwa ulasan kali ini pernah diterbitkan di IBTimes.ID dengan judul Menelisik Sukma Keindonesiaan (3/10/2019). Ulasan ini kembali saya terbitkan di sini dengan menambah dan mengurangi bagian-bagian tertentu yang dirasa perlu diperbaiki, sehingga mudah-mudahan dapat lebih mudah ditangkap pesan dan intinya.
Selamat membaca!
**
Menyelisik sukma keindonesiaan menjadi pembahasan menarik karena panjang dan berlikunya jalan yang dilalui bangsa ini. Perjalanan bangsa Indonesia sampai di era pascareformasi yang telah berlangsung selama dua dekade diiringi dengan dinamika kebangsaan yang begitu kompleks. Dinamika tersebut, mulai dari persoalan politik dan pelbagai turunannya.
Antara lain, soal persinggungan dan benturan ideologi, mengemukanya konflik sosial yang dipicu beragam hal, hingga persoalan moralitas, ekonomi, dan sumber daya alam yang terus-menerus didera rakus sebagian umat manusia. Sehingga, jika diurai secara mendetail, akan membutuhkan waktu panjang dan kertas berjilid-jilid.
Menyelisik Sukma Keindonesiaan
Dinamika kebangsaan yang demikian kompleks, mau tak mau akan mengundang ragam analisis dan pandangan. Hal itu, tak ayal juga memunculkan refleksi, kritik—autokritik, dan reorientasi, tentang bagaimana seharusnya Indonesia ke depan dan dengan cara apa menggapai masa depan seperti yang dicita-citakan tersebut. Namun, sebelum itu semua, kita mesti memahami lebih dulu tentang apa dan bagaimana Indonesia itu hadir dan apa makna keindonesiaan yang berjalin-kelindan di dalamnya.
Salah satu bacaan penting dan mutakhir yang mengkaji keindonesiaan adalah buku Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologis (Suara Muhammadiyah, 2019) yang ditulis oleh pemikir Indonesia yang juga Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si. Buku ini terbilang padat dan berbobot. Memaparkan informasi penting mengenai catatan sejarah, analisis, refleksi, kritik—autokritik, reorientasi, hingga manifesto tentang Indonesia dan keindonesiaan.
Buku yang cukup tebal ini menjadi asupan penting yang wajib dibaca dan ditelaah sebagai ikhtiar memahami ihwal Indonesia dan keindonesiaan. Terlebih, buku ini dikemas dalam perspektif sosiologis yang membuat pembahasannya sangat aktual, relevan, dan mendalam. Dalam pengantarnya Prof. Haedar berujar, “Di sinilah pentingnya memahami Indonesia dan keindonesiaan dalam perspektif sosiologis yang luas dan mendalam sebagai narasi dan cara pandang memahami negara dan bangsa yang besar seperti Indonesia.”
Dengan begitu, buku ini menjadi penting untuk dijadikan pijakan memahami dinamika Indonesia yang telah melewati berbagai fase kebangsaan, mulai dari prakemerdekaan hingga pascareformasi saat ini. Penerbit Suara Muhammadiyah mengantarkan dengan kalimat yang sangat akurat, “Buku ini menghadirkan cakrawala pengetahuan dan analisis mendalam tentang Indonesia dan keindonesiaan.”
Memahami Indonesia dan Keindonesiaan
Indonesia, seperti yang kita kenal, bukan semata nama sebuah negara yang saat ini kita tinggali. Indonesia, menurut Haedar, merupakan tanah air dan bangsa. Dengan ungkapan lain, Indonesia juga merupakan identitas. Haedar mencatat, “Penggalan sejarah itu merupakan titik awal kehadiran Indonesia, tidak hanya sebatas nama, tetapi juga identitas diri. Sekaligus merupakan keputusan sejarah untuk sebuah nama Indonesia yang di dalamnya terkandung jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur akan hadirnya sebuah bangsa dan negara yang besar.” (2019: 20).
Awalnya, negeri kepulauan ini disebut sebagai Indian Archipelago atau Kepulauan India (John Crawfurd). Penyebutan ini mengacu pada istilah geografis yang menggambarkan wilayah yang terdiri atas pulau-pulau. Adalah seorang etnolog Universitas Berlin bernama Adolf Bastian yang awal mula memopulerkan nama “Indonesia” pada 1884. Para pejuang kemerdekaan bangsa kemudian memutuskan menggunakan nama Indonesia di samping Nusantara, Dwipantara, Swarnadwipa, Insulinde, dan Melayunesia yang juga pernah mengemuka sebagai identitas.
Untuk menekankan bahwa Indonesia bukan sekadar nama, Prof. Haedar menjelaskan, “Nama dan identitas Indonesia menjadi titik temu persatuan nasional seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan sebagai era baru yang di era Nusantara berpencar dan menjadi entitas sendiri-sendiri yang tidak mengarah ke persatuan. Dengan kata lain, nama dan entitas Indonesia menjadi satu-satunya tempat bertemunya seluruh keragaman etnik, golongan, dan identitas ketimbang Nusantara. Lebih-lebih setelah Indonesia merdeka, nama Indonesia itulah yang memiliki kekuatan politik formal dan substansial daripada Nusantara yang bersifat masa silam yang terbatas.” (2019: 21).
Yang tak kalah penting adalah penegasan bahwa Indonesia merupakan identitas bangsa yang majemuk. Dengan keberagamannya membentuk diri menjadi satu, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian kalimat ini menjadi semboyan persatuan bangsa yang terdiri atas aneka ras, suku, budaya, dan agama. Hal itu tidak lepas juga dari masyarakat Indonesia yang notabene merupakan masyarakat majemuk yang kaya akan budaya dan bahasa.
Konsekuensi dari kemajemukan tersebut mengharuskan manusia Indonesia untuk beradaptasi dan bekerja sama dengan kalangan manapun, jika ingin mencapai sebuah peradaban yang maju. Sebab, sejatinya, Indonesia sendiri lahir dari kemajuan dan pemikiran maju para pendahulu: founding fathers dan kaum muda pada masa itu.
Gagasan Tranformasi Kehidupan Kebangsaan
Dalam buku Indonesia dan Keindonesiaan, Prof. Haedar juga merekam gagasan tetang transformasi kehidupan kebangsaan untuk menyelisik sukma keindonesiaan. Di antaranya meliputi aktualisasi nilai agama, aktualisasi Pancasila dan UUD 1945, rekonstruksi kebangsaan, gagasan Indonesia berkemajuan, dan bagaimana Indonesia menghadapi abad XXI.
Bagi Prof. Haedar, bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari nilai agama. Karena agama dengan seperangkat nilainya membentuk karakter orang-orang Indonesia yang religius. Nilai-nilai agama juga yang menjadi ruh atau dasar bagi perjuangan kemerdekaan bangsa. Hal ini oleh para pendiri bangsa direkam dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Begitu pun dalam Pancasila, pada sila pertama yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tranformasi nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lebih menekankan pada upaya menjadikan agama dan umat beragama sebagai nilai konstruktif dalam intergrasi sosial dan kemajuan bangsa. Bukan sebaliknya, mempertentangkan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai dan karakter keindonesiaan.
Hal ini biasa dilakukan dengan menjadikan agama sebagai alat propaganda politik, menebarkan kebencian, dan sebagainya. Maka, agama hendaknya menjadi ruh, fondasi moralitas, dan panduan dalam berpikir dan berbuat. Agama, menurut Prof. Haedar, merupakan perekat. “Agama dijadikan faktor perekat dan harmoni sosial dalam kehidupan kebangsaan, yang memperkuat persatuan nasional dan kebinekaan.” (2019: 189).
Gagasan mengenai Indonesia berkemajuan juga merupakan salah satu putusan resmi Muhammadiyah dalam mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara. Dokumen Indonesia Berkemajuan yang dirilis pada 2015 oleh PP Muhammadiyah tersebut menjadi salah satu referensi penting. Bukan hanya bagi masyarakat, tapi juga bagi para pemangku kebijakan negeri ini.
Sebab, dalam pandangan Muhammadiyah, Indonesia yang berkemajuan dapat terwujud ketika manusianya, secara individu dan sosial, mampu menghadirkan kualitas yang utama. Ditopang dengan pemangku kekuasaan yang bersih, good governance, jujur, adil, dan terpenting seturut dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945. Indonesia berkemajuan juga merupakan konsekuensi dari tuntutan zaman, yang mengharuskan Indonesia maju, mulai dari hal-hal fundamental.
Ide untuk Masa Depan Indonesia
Sebagai tokoh pemikir dan pemimpin organisasi Islam terbesar di Asia, Prof. Haedar melalui bukunya menghadirkan pandangan optimistis tentang Indonesia ke depan. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara berkemajuan yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Potensi tersebut meliputi, (1) Indonesia memiliki tanah air berupa negara kepulauan yang luas dan sumber daya alam sangat kaya; (2) Indonesia memiliki modal sejarah yang dapat dijadikan kekuatan heroisme untuk bersaing dengan bangsa dan negara lain; (3) sumber daya manusia yang unggul dan berprestasi menjadi modal human resources bagi kemajuan Indonesia; (4) kebersamaan dan integrasi nasional dengan fondasi spiritualitas agama dan Pancasila menjadi kekuatan ruhaniah dan modal sosial.
Keempat potensi ini, menurut Haedar, niscaya ditransformasikan sebagai faktor strategis menuju Indonesia yang unggul, bermartabat, bersatu, berdaulat, maju, adil, dan makmur (2019: 282). Meskipun begitu, kita harus kuat menahan pelbagai gempuran ideologis dan politis yang bisa menjadi memecah keutuhan bangsa. Sebab, faktanya, kita masih menghadapi adanya terorisme, radikalisme, dan intoleransi yang terus merongrong kehidupan berbangsa. Sehingga, muncul polarisasi di tengah masyarakat.
Maka, untuk menjangkau masa depan Indonesia yang maju, penting untuk membangun moralitas manusia yang berakakter keindonesiaan. Yang religius dan menjunjung kemanusiaan, sekaligus modern—berkemajuan. Kemudian menyiapkan sumber daya manusia yang sanggup menjalani kehidupan di era modern abad XXI atau era pascamodern dan globalisasi.
Selain itu, perlu adanya orientasi sikap dan cara berpoikir yang visioner dan berkemajuan. Selanjutnya, Indonesia akan maju jika segala verbalitas bernada klaim terhadap keindonesiaan, seperti “Aku Indonesia”, “Aku Pancasila”, “NKRI Harga Mati”, dan sebagainya, dibuktikan dalam tindakan dan karya nyata. Dimulai dari menyelisik sukma keindonesiaan sehingga cita-cita Indonesia yang unggul dan berkemajuan bisa betul-betul terwujud.
“Dengan demikian, menjadi penting melakukan transformasi yang berkarakter keindonesiaan yang benar-benar sejalan dengan nilai dasar, jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur yang diletakkan oleh para pendiri bangsa untuk mewujudkan perikehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur di tengah gelombang baru dunia pascamodern dan globalisasi abad XXI. Secara sosiologis, Indonesia masa lampau, saat ini dan ke depan tengah bergerak melintasi zaman dalam dinamika hukum sunatullah kehidupan sampai akhirnya alam semesta dengan seluruh isinya berhenti di titik terakhir atas kuasa Ilahi,” ungkap Prof. Haedar (2019: 290).
Identitas Buku
Judul : Indonesia dan Keindonesiaan; Perspektif Sosiologis
Penulis : Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si.
Penerbit : Suara Muhammadiyah, Yogyakarta
Cetakan I: Februari 2019
.png)
0 Komentar