Medsos & Sapiens di Era Digital
Oleh Ahmad Soleh
AKASIA - “Medsos adalah produk teknologi, dan teknologi memang sering kali merampas banyak bagian dari diri kita.” (Iqbal, 2022: 20).
Beberapa waktu lalu, saya sempat kepikiran untuk melakukan puasa media sosial. Baru kepikiran saja. Saya pun membuka diskusi dengan istri saya, “Bagaimana kalau kita ganti pake hape jadul dulu selama sebulan ke depan?” Ia langsung menunjukkan mimik wajah tidak setuju. Mungkin lebih tepatnya mempertanyakan, “Kenapa harus pake hape jadul? Nanti ngurusi kerjaan gimana? Promosi dagangan gimana?” Beberapa pertanyaan itu sempat juga muncul dari perkataannya.
Ya, tentu saja saya jawab begini, “Untuk urusan kerja dan promosi bisa kita atur waktunya. Yang penting waktu kita nggak dihabiskan sama scrolling medsos terus.” Dia pun tampak teguh dengan pendiriannya, tetap tidak setuju dan terus mempertanyakan. Buat apa ganti ponsel jadul kalau cuma mau membatasi medsosan? Kira-kira begitu. Sebab bagi dia, beli hape jadul juga mengandung indikasi pemborosan, meskipun sudah saya tekankan “kita beli hape nokia senter” yang harganya murah meriah di marketplace—di sini, sepertinya saya telah jadi korban promosi.
Diskusi saya dan istri saya berujung dengan kesepakatan pembatasan dalam menggunakan medsos, terutama buat urusan yang nggak penting-penting amat semacam scrolling timeline, lihat story akun yang di-follow, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan di medsos yang belakangan membuat saya merasa telah menghabiskan banyak waktu.
Bahkan, setelah saya cek grafiknya, rata-rata aktivitas di Instagram bisa sampai dua jam dalam sehari. Itu baru Instagram saja. Belum lagi Facebook, Twitter, Youtube, Tiktok. Jujur saja mengikuti timeline medsos itu kadang memang sulit dikontrol. Sampai sering tidak terasa, habis waktu berjam-jam. Padahal, waktu luang itu bisa digunakan untuk baca buku, nyuci baju, ambil formulir S2, daftar haji, dan seterusnya.
Jadi, saat ini saya sedang menargetkan untuk mengurangi intensitas bermedsos. Ya, cuma mengurangi karena untuk hal-hal tertentu medsos juga amat berguna dan bermanfaat. Lagipula hidup di zaman sekarang mana bisa lepas sepenuhnya dari medsos? Oke, keinginan beli gawai Nokia senter kita urungkan saja.
Sebetulnya saya lumayan gelisah setelah selesai membaca buku teranyar Iqbal Aji Daryono, Sapiens di Ujung Tanduk. Gelisah bukan saja karena kegelisahan Iqbal yang ditransfer lewat cerita-ceritanya. Melainkan, karena kok ya baca buku setipis ini saja lama sekali saya selesaikan—hampir dua bulan. Sebabnya ya itu tadi, banyak waktu saya terbuang di timeline medsos. Yang kebetulan juga dibahas dan digelisahi Iqbal dalam bukunya ini. Jadi, sekalian curhat saya akan mereview sedikit buku terbitan Bentang Pustaka yang sepertinya sudah cetak ulang ini—selamat ya, Mas Iqbal.
Kegelisahan itu antara lain soal pertemanan semu di medsos. Teman maya alias teman di medsos, yang kita follow-followan dengannya, kebanyakan bukanlah “teman” di dunia nyata. Ya, mungkin hanya beberapa saja dari ratusan atau ribuan teman itu yang sering mampir, ngopi, ngobrol, dan bertukar kabar. Kebanyakan hanya lewat dan membagikan momen-momen mereka dalam apa yang kita kenal sebagai “konten”. Konten yang kerap kita prasangkai, “gitu aja dibuat konten”, “bisa-bisanya kayak gitu demi konten”, dan aneka nada minor lainnya.
Buku Sapiens di Ujung Tanduk ini juga bercerita tentang teman medsos penulisnya yang ternyata tak semuanya merupakan benar-benar teman. Apalagi, sekelas pesohor IAD yang pasti bakal banyak yang ngaku-ngaku berteman dengan pemilik akun centang biru itu—huh. Dalam salah satu cerita berjudul “Teman Medsos yang Bukan Teman”, Iqbal berkisah tentang teman di medsos yang ternyata tidak benar-benar berteman.
Ia menceritakan saat tiba-tiba disalahkan atas kesalahan orang lain yang notebene “teman medsos”-nya. Ya, berteman di medsos belum tentu otomatis berteman di dunia nyata. Pasalnya, “ketemu muka tidak pernah, rumahnya di mana juga tidak tahu, lingkaran pergaulan dia orang-orang seperti apa saya pun tak paham,” begitulah seloroh Iqbal dalam sebuah alinea (Iqbal, 2022: 9).
Barangkali kasus semacam ini memang jamak terjadi di era media sosial semacam sekarang ini. Pasalnya, kehadiran kita di ruang digital, seperti adanya akun medsos, bagi semesta digital adalah juga mewakili kehadiran kita di dunia nyata. Setidaknya itulah yang dijabarkan Klaus Schwab dalam buku Revolusi Industri Keempat. Jadi, kebanyakan dari kita menganggap apa-apa yang ada di medsos itu benar-benar nyata terjadi. Berteman di medsos diartikan benar-benar teman sepermainan, setongkrongan. Begitu juga ketika berdebat kusir di medsos, dibawa ke dunia nyata menjadi bermusuhan.
Padahal, kita (manusia) di dunia nyata adalah pikiran-pikiran dan tubuh yang bergerak dan berkehendak. Sementara kita di media sosial hanyalah data-data yang dipandu dan diarahkan algoritma. Bebas, tapi sebenarnya terperangkap. Kita seolah sudah begitu kebergantungan dengan media sosial. Seperti separuh jiwa dan separuh hidup kita adalah di ruang maya itu. Itulah sebabnya muncul ungkapan, “Lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan smartphone.” Dunia kita sudah benar-benar mengalami disrupsi.
Di sisi lain, kita amat mudah bicara “bijaklah bermedsos”, “makanya melek digital, dong”, “medsos kan cuma buat hiburan saja”, dan sebagainya. Namun, di sisi lainnya, jangankan sehari, rasanya satu jam saja bila tanpa medsos, kita begitu gelisah parah. Seperti dalam cerita “Hilangnya Separuh Diri Kita” yang di sana Iqbal berkisah tentang kepanikan orang-orang (termasuk kita) saat Instagram, Facebook, dan Whatsapp mengalami down cukup lama.
Ketiga medsos dan aplikasi percakapan instan itu tampaknya sangat penting dan perlu bagi kita. Alasannya cukup logis. Di ketiga media itulah kita menjalani berbagai aktivitas, mulai dari yang sekadar berkomunikasi sampai berjualan, promosi bisnis, sampai mengerjakan berbagai tugas penting. Ya, bayangkan saja kalau down itu terjadi berhari-hari, berapa kerugian yang mesti Mark Zuckerberg tanggung untuk mengganti cuan kita yang hilang akibat komunikasi dan promosi yang terhambat? Hahaha.
“Tanpa medsos, tanpa akun medsos, agaknya kita tak lagi merasa utuh sebagai manusia,” ujar Iqbal (2022: 18). Ungkapan ini sepertinya relevan. Tapi, entahlah sepenuhnya benar atau tidak. Sebab, meskipun banyak teman di medsos dan sering berbagi di medsos pun terkadang tidak berdampak apa-apa bagi kita. Coba saja dipikir, apa dengan mengunggah kesulitan kita di medsos otomatis mereka akan peduli? Mereka yang saya maksud ya teman-teman di medsos. Jawabannya, tidak. Ya, tidak semua teman maya kita akan peduli dengan kondisi yang kita derita di dunia nyata. Kecuali unggahan kita itu viral, ratusan ribu akun dan pegiat medsos membagikannya, di-mention influencer, dan dibahas di close the door mungkin jawabannya berbeda.
Ini agaknya menjadi jawaban atas pertanyaan dalam judul tulisan Iqbal yang lain, “Nggak Viral, Nggak Ditindak?”. Di bagian ini, Iqbal menyoroti tingkah pak polisi yang belakangan makin rajin menuntaskan kasus-kasus lantaran kasus itu viral di medsos. Kita memang tidak bisa menyalahkan polisi atas perlakuan yang demikian. Meski sebenarnya kita juga berharap pak polisi bisa menuntaskan kasus-kasus tidak viral lainnya secara gercep.
Salah satu alasan polisi yang saya tahu tentang kenapa lebih cepat mengurusi yang viral adalah karena mengantisipasi dampak yang lebih luas. Polisi kita menyadari betul medsos ini sudah menjalar mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat kita. Sehingga, apa yang ramai di medsos sangat berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan nasional. Dengan bahasa agak rumit, Iqbal menjelaskan, “bangsa manusia makin lama tumbuh jadi semakin reaktif, grusa-grusu. Karakter komunal yang grusa-grusu itu ibarat padang rumput kering yang sangat gampang disulut api, terbakar seluruhnya dengan kecepatan tak terduga.” (2022: 97).
Bila ada sesuatu yang membuat riuh di medsos, bila tidak langsung ditindak, bisa jadi polisi yang kena batunya. Didemo, dihujat, dicaci, dan dikasih tagar #percumalaporpolisi. Masak, sudah berseragam, digaji pakai uang rakyat, kok dibilang percuma. Jelas, pak polisi tak mau ditagari seperti itu. Meskipun krisis kepercayaan kepada polisi ini tetap ada, minimal para pegiat medsos yang memviral-viralkan itu mampu membuat semacam mass preassure yang mendorong kesigapan polisi untuk bertindak sebagaimana mestinya.
Duh, kok jadi jauh-jauh bahas ke sini. Intinya, sebagai penutup tulisan ini, saya hendak mengulang ungkapan yang mudah diucapkan tapi sulit dilakukan seperti sudah disebutkan di atas. Bijaklah bermedsos, meleklah teknologi digital, dan medsos kan cuma buat hiburan, jadi jangan terlalu rumit memikirkan segala apa yang ada di medsos. Tidak semua kasus dan informasi yang ramai di medsos harus kita tanggapi—lebih-lebih kalau itu bukan bidang keahlian dan kepakaran kita.
Jadi, haruskah kita kembali pake hape jadul untuk menghindari kerumunan di media sosial? Atau kita harus benar-benar melakukan puasa medsos? Atau harus benar-benar larut dan ikut terbawa arus algoritma?
Kegelisahan itu antara lain soal pertemanan semu di medsos. Teman maya alias teman di medsos, yang kita follow-followan dengannya, kebanyakan bukanlah “teman” di dunia nyata. Ya, mungkin hanya beberapa saja dari ratusan atau ribuan teman itu yang sering mampir, ngopi, ngobrol, dan bertukar kabar. Kebanyakan hanya lewat dan membagikan momen-momen mereka dalam apa yang kita kenal sebagai “konten”. Konten yang kerap kita prasangkai, “gitu aja dibuat konten”, “bisa-bisanya kayak gitu demi konten”, dan aneka nada minor lainnya.
Buku Sapiens di Ujung Tanduk ini juga bercerita tentang teman medsos penulisnya yang ternyata tak semuanya merupakan benar-benar teman. Apalagi, sekelas pesohor IAD yang pasti bakal banyak yang ngaku-ngaku berteman dengan pemilik akun centang biru itu—huh. Dalam salah satu cerita berjudul “Teman Medsos yang Bukan Teman”, Iqbal berkisah tentang teman di medsos yang ternyata tidak benar-benar berteman.
Ia menceritakan saat tiba-tiba disalahkan atas kesalahan orang lain yang notebene “teman medsos”-nya. Ya, berteman di medsos belum tentu otomatis berteman di dunia nyata. Pasalnya, “ketemu muka tidak pernah, rumahnya di mana juga tidak tahu, lingkaran pergaulan dia orang-orang seperti apa saya pun tak paham,” begitulah seloroh Iqbal dalam sebuah alinea (Iqbal, 2022: 9).
Barangkali kasus semacam ini memang jamak terjadi di era media sosial semacam sekarang ini. Pasalnya, kehadiran kita di ruang digital, seperti adanya akun medsos, bagi semesta digital adalah juga mewakili kehadiran kita di dunia nyata. Setidaknya itulah yang dijabarkan Klaus Schwab dalam buku Revolusi Industri Keempat. Jadi, kebanyakan dari kita menganggap apa-apa yang ada di medsos itu benar-benar nyata terjadi. Berteman di medsos diartikan benar-benar teman sepermainan, setongkrongan. Begitu juga ketika berdebat kusir di medsos, dibawa ke dunia nyata menjadi bermusuhan.
Padahal, kita (manusia) di dunia nyata adalah pikiran-pikiran dan tubuh yang bergerak dan berkehendak. Sementara kita di media sosial hanyalah data-data yang dipandu dan diarahkan algoritma. Bebas, tapi sebenarnya terperangkap. Kita seolah sudah begitu kebergantungan dengan media sosial. Seperti separuh jiwa dan separuh hidup kita adalah di ruang maya itu. Itulah sebabnya muncul ungkapan, “Lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan smartphone.” Dunia kita sudah benar-benar mengalami disrupsi.
Di sisi lain, kita amat mudah bicara “bijaklah bermedsos”, “makanya melek digital, dong”, “medsos kan cuma buat hiburan saja”, dan sebagainya. Namun, di sisi lainnya, jangankan sehari, rasanya satu jam saja bila tanpa medsos, kita begitu gelisah parah. Seperti dalam cerita “Hilangnya Separuh Diri Kita” yang di sana Iqbal berkisah tentang kepanikan orang-orang (termasuk kita) saat Instagram, Facebook, dan Whatsapp mengalami down cukup lama.
Ketiga medsos dan aplikasi percakapan instan itu tampaknya sangat penting dan perlu bagi kita. Alasannya cukup logis. Di ketiga media itulah kita menjalani berbagai aktivitas, mulai dari yang sekadar berkomunikasi sampai berjualan, promosi bisnis, sampai mengerjakan berbagai tugas penting. Ya, bayangkan saja kalau down itu terjadi berhari-hari, berapa kerugian yang mesti Mark Zuckerberg tanggung untuk mengganti cuan kita yang hilang akibat komunikasi dan promosi yang terhambat? Hahaha.
“Tanpa medsos, tanpa akun medsos, agaknya kita tak lagi merasa utuh sebagai manusia,” ujar Iqbal (2022: 18). Ungkapan ini sepertinya relevan. Tapi, entahlah sepenuhnya benar atau tidak. Sebab, meskipun banyak teman di medsos dan sering berbagi di medsos pun terkadang tidak berdampak apa-apa bagi kita. Coba saja dipikir, apa dengan mengunggah kesulitan kita di medsos otomatis mereka akan peduli? Mereka yang saya maksud ya teman-teman di medsos. Jawabannya, tidak. Ya, tidak semua teman maya kita akan peduli dengan kondisi yang kita derita di dunia nyata. Kecuali unggahan kita itu viral, ratusan ribu akun dan pegiat medsos membagikannya, di-mention influencer, dan dibahas di close the door mungkin jawabannya berbeda.
Ini agaknya menjadi jawaban atas pertanyaan dalam judul tulisan Iqbal yang lain, “Nggak Viral, Nggak Ditindak?”. Di bagian ini, Iqbal menyoroti tingkah pak polisi yang belakangan makin rajin menuntaskan kasus-kasus lantaran kasus itu viral di medsos. Kita memang tidak bisa menyalahkan polisi atas perlakuan yang demikian. Meski sebenarnya kita juga berharap pak polisi bisa menuntaskan kasus-kasus tidak viral lainnya secara gercep.
Salah satu alasan polisi yang saya tahu tentang kenapa lebih cepat mengurusi yang viral adalah karena mengantisipasi dampak yang lebih luas. Polisi kita menyadari betul medsos ini sudah menjalar mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat kita. Sehingga, apa yang ramai di medsos sangat berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan nasional. Dengan bahasa agak rumit, Iqbal menjelaskan, “bangsa manusia makin lama tumbuh jadi semakin reaktif, grusa-grusu. Karakter komunal yang grusa-grusu itu ibarat padang rumput kering yang sangat gampang disulut api, terbakar seluruhnya dengan kecepatan tak terduga.” (2022: 97).
Bila ada sesuatu yang membuat riuh di medsos, bila tidak langsung ditindak, bisa jadi polisi yang kena batunya. Didemo, dihujat, dicaci, dan dikasih tagar #percumalaporpolisi. Masak, sudah berseragam, digaji pakai uang rakyat, kok dibilang percuma. Jelas, pak polisi tak mau ditagari seperti itu. Meskipun krisis kepercayaan kepada polisi ini tetap ada, minimal para pegiat medsos yang memviral-viralkan itu mampu membuat semacam mass preassure yang mendorong kesigapan polisi untuk bertindak sebagaimana mestinya.
Duh, kok jadi jauh-jauh bahas ke sini. Intinya, sebagai penutup tulisan ini, saya hendak mengulang ungkapan yang mudah diucapkan tapi sulit dilakukan seperti sudah disebutkan di atas. Bijaklah bermedsos, meleklah teknologi digital, dan medsos kan cuma buat hiburan, jadi jangan terlalu rumit memikirkan segala apa yang ada di medsos. Tidak semua kasus dan informasi yang ramai di medsos harus kita tanggapi—lebih-lebih kalau itu bukan bidang keahlian dan kepakaran kita.
Jadi, haruskah kita kembali pake hape jadul untuk menghindari kerumunan di media sosial? Atau kita harus benar-benar melakukan puasa medsos? Atau harus benar-benar larut dan ikut terbawa arus algoritma?
Identitas Buku
Judul: Sapiens di Ujung Tanduk
Penulis: Iqbal Aji Daryono
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: 160 halaman
Cetakan pertama: April 2022
ISBN: 978-602-291-897-4
.png)
0 Komentar